Powered By Blogger

Rabu, 25 November 2015

Perlawanan Cirebon TAHUN 1802-1818 (PERANG KEDONDONG)



PERANG KEDONDONG TAHUN 1802-1818 Di CIREBON



              Dilihat dari lokasinya maka perlawanan petani dibedakan menjadi dua tempat, yaitu di pusat kerajaan dan di pinggiran. Daerah pinggiran biasanya dijadikan basis perlawanan. Namun, aliansi dua lokasi terjadi karena keduanya saling tergantung dalam memimpin dan mengalokasikan kekuatan menghadapi penguasa. Selain itu, konflik di dalam istana terus berkembang ke luar dan pecah sebagai gerakan pemberontakan petani di pedesaan. Pemberontakan rakyat Cirebon 1802-1818 merupakan ekspresi ketidakpuasan petani dalam bentuk gerakan pemberontakan yang meluas dari pusat kerajaan ke pedesaan.
             Protes sosial para petani Cirebon terjadi di daerah pertanian. Para petani merasa dirugikan oleh orang-orang Cina dan residen. Oleh karena itu, mereka melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial dan mengadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina. Permasalahan kehidupan sosial-ekonomi yang lama terpendam dan buruk ini, Sistem persewaan desa dan penarikan pajak, memunculkan pemerasan oleh residen dan orang Cina, merupakan salah satu pemicu timbulnya pemberontakan rakyat Cirebon. akhirnya melahirkan kekuatan perlawanan menjadi besar dengan skalanya yang luas.
            Tahun 1802-1818 adalah waktu terjadinya rentetan pemberontakan, yang meletus pertama kali tahun 1802 dan berakhir tahun 1818. Pemberontakan tidak terjadi setiap tahun, namun ada dua periode pemberontakan besar yaitu tahun 1802-1812 pemberontakan dipimpin oleh Rangin dan periode tahun 1816-1818 pemberontakan dipimpin oleh Jabin dan Nairem.
Bersama para pengikutnya Bagus Rangin melakukan pemberontakan di Cirebon, bahkan sampai meluas ke luar karesidenan Cirebon. Dalam perjalanannya selanjutnya, Bagus Rangin hendak mendirikan negara Panca Tengah dan mengangkat dirinya sebagai raja dimulai dari tahun 1802
Gerakan pemberontakan ini menemui kegagalan setelah Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap oleh pemerintah kolonial pada tahun 1812.gerakan pemberontakan rakyat Cirebon ini sempat muncul kembali di bawah pemimpin lainnya, yaitu pemberontakan tahun 1816 di bawah pimpinan Jabin (seorang ketua gerombolan dan pemberontakan tahun 1818 di bawah pimpinan Nairem.
            Dan hal ini serentak dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya hal tersebut maka hampir seluruh wilayah bergerak bertahap menghimpun kekuatan.Rangin(islam)danserrit(islam)darijatitujuh, Wariem(nonislam/kejawen)dan Ujar(islam) dari Biyawak, Sakti dan Kondur(nonislam/kejawen)dan jabin(islam) dari waringin, Rontui(nonmuslim/kejawen) dariSindanghaji ( Rajagaluh ), Nairem/narijem (islam) dan Samun(islam)danronodwiwongso(nonislam/kejawen) dari BaruangKulon, Bana(nonislam/kejawen) yangmenjadi Sekretaris Rangin dari Baruang Wetan,Sindung(nonislam/kejawen),cangga(islam) dari Sumber, Arsitem(islam) dari Loyang, Suara(islam) dariBantarjati, Sanda (non islam/kejawen)dari Pamayahan, Narim(islam) dari Leles, Jamani (islam)dariDepok, DemangPenangan (islam)dari Kandanghaur, DemangWargagupita(nonislam/kejawen) dari Kuningan,Wargamanggale(islam) dari Cikao, Wirasraya (islam)dari Manis, Jurangprawira(islam) dari Linggarjati,Jayasasmita(islam) dari Ciminding, Jangbaya(nonislam/kejawen) dari Luragung, Harmanis(islam) dari Cikao,Anggasraya(nonislam) dari Timbang, DemangJayaprawata(islam) dari Nagarawangi, Demang Angon Klangon(islam) dari Weru, Ingabei Marta Manggala (islam)dari Pagebangan, DemangJayapratala(nonislam/kejawen)dari Sukasari.
   


Sumberdari : https://www.facebook.com/notes/putra-hari/perang-kedondong-tahun-1802-1818-di-cirebon/538967442882539

Selasa, 24 November 2015

Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said (1749 – 1757)

             



            Pada tahun 1743, Paku Buwono II menyerahkan pantai utara Pulau Jawa kepada VOC. Pangeran Mangkubumi dan Mas Said tidak setuju, karena kota-kota di pantai utara Pulau Jawa merupakan pelabuhan dagang yang menjadi sumber penghasilan bagi Mataram. Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwono II, karena raja ini tidak menepati janjinya yang akan memberikan daerah Sukawati (Sragen). Bahkan dalam pertemuan para bangsawan di istana, pada tahun 1746, Mangkubumi dipermalukan oleh Gubernur Jenderal van Imhoff. Ketika perang mulai berkobar, Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh puteranya yang bergelar Paku Buwono III. Dalam perang melawan VOC, Mangkubumi dan Mas Said menggunakan taktik gerilya. Ketika terjadi pertempuran di sungai Bogowonto, pasukan VOC banyak yang binasa, dan pimpinan VOC De Clerk juga tewas. VOC akhirnya berhasil membujuk Pangeran Mangkubumi untuk menandatangani Perjanjian Giyanti (1755).

Isi Perjanjian Giyanti adalah Kerajaan Mataram dibagi dua, yaitu:
a.    Mataram Barat diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi dengan gelar Hamengku Buwono I, kerajaannya dinamakan Kasultanan Yogyakarta.
b.    Mataram Timur, tetap dikuasai oleh Paku Buwono III, kerajaannya dinamakan Kasultanan Surakarta.

Untuk menghentikan perlawanan Mas Said, VOC pada tahun 1575 membujuknya untuk menandatangani Perjanjian Salatiga yang isinya Kerajaan Surakarta dibagi dua, yaitu:
a.    Bagian barat diperintah oleh Sultan Paku Buwono III, dan disebut Kasunanan.
b.    Bagian timur diperintah oleh Mas Said, yang bergelar Pangeran Adipati Mangkunegoro I, wilayahnya disebut Mangkunegaran.






Sumber  dari : http://blogbelajar-pintar.blogspot.co.id/2012/11/perlawanan-pangeran-mangkubumi-dan-mas.html



Perlawanan Demak Terhadap Portugis


             Sejak tahun 1509, Pati Unus, raja Demak, sudah merancang rencana untuk menguasai Malaka. Saat itu Malaka berada di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka. Dengan kata lain, perlu dicatat bahwa serangan Demak ke Malaka jelas bukanlah sebuah serangan anti-kekuasaan asing, tetapi sebuah invasi imperialis. Tahun 1511, Alfonso D'Alburquerque, Laksamana armada Portugis, mendahului Pati Unus dengan menaklukkan Malaka. Sultan Malaka Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan. Pati Unus sangat mengerti bahwa kekuatan utama Portugis adalah pada armada lautnya.                      Portugis memiliki kapal yang kuat, bahkan lebih kuat dibandingkan dengan kapal Majapahit. Selain itu, Portugis sudah menggunakan meriam yang dipasang di masing - masing kapal di mana pada waktu itu meriam adalah senjata pamungkas yang tidak bisa ditandingi oleh senjata apapun. Oleh karena itu, langkah pertama Pati Unus adalah menghidupkan kembali kekuatan armada Majapahit yang tertidur lama pada saat masa - masa perebutan kekuasaan. Kapal - kapal baru tersebut juga dilengkapi dengan Cetbang, yaitu meriam api, di mana kapal dan cetbang juga merupakan kekuatan andalan Armada Majapahit. Pusat produksi kapal-kapal ini adalah Semarang, gerbang masuk Demak, dengan bantuan orang-orang Tionghoa lokal. Selanjutnya Pati Unus menghimpun kekuatan - kekuatan nusantara untuk membentuk armada gabungan dengan satu tujuan, mengusir Portugis dari Malaka. Ia juga meminta bantuan orang-orang Jawa yang ada di Malaya untuk jadi agen dalam di Malaka. Tetapi ternyata, ketika Pati Unus terlanjur berangkat ke Malaka,orang-orang Jawa ini terlanjur dipergoki Portugis dan melarikan diri ke Cirebon. Pati Unus pun bertempur tanpa bantuan mata-mata dan agen dalam - kapal-kapalnya dengan mudah diremuk meriam-meriam yang ditodongkan ke laut di Benteng Portugis di Malaka. Dikuasainya Malaka pada tahun 1511 oleh orang-orang Portugis merupakan ancaman tersendiri bagi Kerajaan Demak. Pada tahun 1512, Kerajaan Demak di bawah pimpinan Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan bantuan Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka. Namun, serbuan Demak tersebut mengalami kegagalan. Penyerangan dilakukan sekali lagi bersama Aceh dan Kerajaan Johor, tetapi tetap berhasil dipatahkan oleh Portugis. Perjuangan Kerajaan Demak terhadap orang-orang Portugis tidak berheti sampai di situ.                 Kerajaan Demak selalu menyerang dan membinasakan setiap kapal dagang Portugis yang melewati jalur Laut Jawa. Karena itulah kapal dagang Portugis yang membawa rempah-rempah dari Maluku (Ambon) tidak melalui Laut Jawa, tetapi melalui Kalimantan Utara. Upaya Demak untuk mengusir Portugis diwujudkan dengan ditaklukkannya Kerajaan Pajajaran oleh Fatahilah pada tahun 1527. Penaklukkan Pajajaran ini disebabkan Kerajaan Pajajaran mengadakan perjanjian perdagangan dengan Portugis, sehingga Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Ketika orang-orang Portugis mendatangi Sunda Kelapa (sekarang Jakarta), terjadilah perang antara Kerajaan Demak di bawah pimpinan Fatahilah dengan tentara Portugis. Dalam peperangan itu, orang-orang Portugis berhasil dipukul mundur. Kemudian, pelabuhan Sunda Kelapa diganti namanya oleh Fatahilah menjadi Jayakarta yang berarti kejayaan yang sempurna. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Invasi_Kerajaan_Demak_ke_Malaka 





Sumber dari : http://www.kompasiana.com/ajengputri/strategi-penyerangan-demak-terhadap-portugis-di-malaka_552fad926ea83495168b45ab

Rabu, 18 November 2015

Perlawanan Goa Tallo



Latar belakang kerajaan

      Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan bercorak Hindu di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing.


       Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Nama Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan. Sebelum abad ke 16, kerajaan-kerajaan di Sulawesi masih bercorakkan Hindu, barulah ketika  adanya dakwah dari Dato'ri Bandang dan Dato' Sulaiman, perlahan-lahan kerajaan-kerajaan tersebut mulai memeluk islam. Kerajaan gowa-tallo sendiri merupakan sebuah Kerajaan yang bercorak Islam. Setelah bergabung menjadi Gowa Tallo, Raja Gowa Daeng Manrabia menjadi Raja Gowa Tallo Karaeng Matoaya menjadi perdana menteri (patih) dan bergelar Sultan Abdullah.
  • Letaknya strategis yaitu sebagai penghubung pelayaran Malaka dan Jawa ke Maluku.
  • Letaknya di muara sungai, sehingga lalu lintas perdagangan antar daerah pedalaman berjalan dengan baik.
  • Di depan pelabuhan terdapat gugusan pulau kecil yang berguna untuk menahan gelombang dan angin, sehingga keamanan berlabuh di pelabuhan ini terjamin.
  • Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis mendorong para pedagang mencari daerah atau pelabuhan yang menjual belikan rempah-rempah.
  • Halauan politik Mataram sebagai kerajaan agraris ternyata kurang memperhatikan pemngembangan pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Akibatnya dapat diambil alih oleh Makasar.
  • Kemahiran penduduk Makasar dalam bidang pelayaran dan pembuatan kapal besar jenis Phinisi dan Lambo.
         Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng Ujung Pandang.Masjid Katangka
Mirip dengan pernyataan Prof. DR. M. Ahmad Sewang, pakar Sejarah UIN Alauddin Makassar, bahwa memang pada masa kerajaan-kerajaan dulu telah masuk Islam, ada semacam pengakuan atau legitimasi yang harus datang dari Turki Utsmani sebagai spiritual power (Dunia Islam masa itu) kepada raja terpilih. Beliau mencontohkan legitimasi Sultan Buton oleh Turki Utsmani sekalipun beliau mengatakan tidak sejauh itu pernah membahas masalah ini. Hanya saja, Bapak Prof. Sewang menambahkan, bahwa Turki Utsmani adalah Khalifah.


          Secara geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang berasal dari Indonesia bagian Timur maupun yang berasal dari Indonesia bagian Barat. Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. 

A. Letak Kerajaan

         Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.


B. Raja-raja yang memerintah

       Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Matoaya (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun 1593 – 1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) sebagai Mangkubumi bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.

C. Kehidupan ekonomi
Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :

- letak yang strategis,
- memiliki pelabuhan yang baik
- jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang- pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.





        Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.



        Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
Faktor-faktor penyebab Kerajaan Gowa Tallo berkembang menjadi pusat perdagangan adalah sebagai berikut:

D. Kehidupan Sosial Budaya

        Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.

      Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.

       Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.

        Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.

Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.


E. Kehidupan politik

      Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam.

      Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Ma’towaya Tumamenanga Ri Agamanna (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun 1591 – 1638 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).

       Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.

           Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.

           Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.

        Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.

Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.

        Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.


F. Peninggalan sejarah


        Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud  (1818), Kadi Ibrahim (1921), Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
  
Kompleks makam raja gowa tallo
        Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo. Ber¬dasarkan basil penggalian (excavation) yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982) ditemukan gejala bah wa komplek makam ber¬struktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
         Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempat¬kan di dalam bangunan kubah, jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok¬balok ham pasir. Bangunan kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian dibuat dari batu bata. Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa memper¬gunakan perekat. Perekat digunakan Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka. Pada kompleks ini bentuk makam dominan berciri abad XII Masehi.

Keruntuhan kerajaan
         Raja Bone Aru Palaka meminta bantuan Belanda untuk menyerang Hasanuddin karena wilayahnya dikuasai Gowa Tallo, maka dengan cepat Belanda menyambutnya.
Belanda menyerang dari laut, sedangkan Aru Palaka menyerang dari darat. Dengan tekanan yang demikian berat akhirnya Belanda mempu memaksa Gowa Tallo menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).


Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:


a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.


b. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.


c. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.

d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.


Gowa Tallo menyerah kepada Belanda tahun 1669.
      Akibat penyerahan Gowa Tallo kepada Belanda adalah seperti berikut:
•Peranan Makasar sebagai pusat pelayaran dan perdagangan di Indonesia Timur berakhir.
•Belanda menguasai Gowa Tallo dan mendirikan benteng di New Rotterdam.
•Pejuang Makasar banyak yang pergi ke luar daerah untuk melanjutkan perjuangannya melawan penjajah Belanda. Para pejuang tersebut antara lain Kraeng Galengsung dan Montemaramo yang pergi ke Jawa melanjutkan perjuangannya di Jawa.

Beberapa akibat di atas mengakhiri Kerajaan Gowa Tallo (Makasar) dan berakhir pula peranannya sebagai pelabuhan transito yang besar.


Catatan :
Kerajaan Gowa Tallo
       Prinsip damai Kerajaan Gowa dalam menyebarluaskan Islam dapat dicermati ketika Raja Gowa XIV Sultan Alauddin bersama Mangkubumi (Raja Tallo) Sultan Awwalul Islam dan pasukannya mendatangi Bone untuk mengajak memeluk Islam. Mereka tiba di Bone dan mengambil tempat di Palette. La Tenriruwa, Raja Bone XI, adalah raja Bone yang pertama memeluk agama Islam. Setelah mengadakan pembicaraan antara Raja Gowa dan Raja Bone, rakyat Bone dikumpulkan di suatu lapangan terbuka karena Raja akan menyampaikan sesuatu kepada mereka. Berkatalah Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat banyak :
         Hai rakyat Bone, saya sampaikan padamu, bahwa kini Raja Gowa datang ke Bone menunjukkan jalan lurus bagi kita sekalian ialah agama Islam, mari kita sekalian terima baik Raja Gowa itu. Karena bagi saya sendiri sudah tidak ada kesangsian apa-apa. Saya sudah yakin benar bahwa Islam inilah agama yang benar, yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengikut Nabi Muhammad saw.
Selanjutnya Raja Bone La Tenriruwa berkata lagi:
         Memang ada kata sepakat moyang kami dengan Raja Gowa yang mengatakan, bahwa barangsiapa di antara kita mendapat kebaikan, dialah menuntun di depan. Raja Gowa berkata bahwa bila agama Islam diterima oleh kita, maka Gowa dan Bone adalah dua sejoli yang paling tangguh di tengah lapangan. Bila kita terima agama Islam, maka kita tetap pada tempat kita semula. Akan tetapi, bila kita diperangi dahulu dan dikalahkan, baru kita terima agama Islam, maka jelas rakyat Bone akan menjadi budak dari Gowa. Saya kemukakan keterangan ini, kata Raja Bone La Tenriruwa, bukan karena saya takut berperang lawan orang-orang Makassar. Tapi kalau semua kata-kata dan janji Raja Gowa itu diingkarinya, maka saya akan turun ke gelanggang, kita akan lihat saya ataukah Raja Gowa yang mati.
Demikian isi pidato Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat banyak.
          Kalau kita mencermati petikan pidato di atas dapat dipahami, bahwa betapa Raja Gowa memiliki maksud yang baik kepada Raja Bone dan Rakyat Bone untuk hanya semata-mata agar memeluk Islam. Bahkan dikatakan kepada mereka, jika mau memeluk Islam maka Kerajaan Bone dan Gowa hidup sejoli yang saling menguatkan satu sama lain. Namun, sekalipun Raja Bone La Tenriruwa sudah memeluk Islam lalu mengajak rakyatnya, maka rakyatnya pun menolak bahkan Ade’ Pitue (Hadat Tujuh) memecat La Tenriruwa dari tahtanya, dan bermufakat mengangkat La Tenripale to Akkapeang menjadi raja Bone XII (1611-1625). Akhirnya, Raja Bone XII inilah yang berperang dengan Raja Gowa sehingga ditaklukkan oleh Gowa, kemudian mereka masuk Islam.
       Abdul Razak Daeng Patunru’ (1969: 21) menguraikan bagaimana Gowa mengajak kerajaan-kerajaan memeluk Islam, “Pada hakekatnya Raja Gowa sebagai seorang Muslim dan memegang teguh prinsip agama Islam, bahwa penyebaran Islam harus dilakukan secara damai. Pada mulanya sama sekali tidak bermaksud untuk memaksa raja-raja menerima Islam, tetapi karena ternyata kepada Baginda, bahwa selain raja-raja itu menolak seruan Baginda, mereka pun mengambil sikap dan tindakan yang nyata untuk menentang kekuasaan dan pengaruh Gowa yang sejak dahulu telah tertanam di tanah-tanah Bugis pada umumnya.”
Hubungan Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah
         Hubungan Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah pada waktu itu, yang dapat kita pahami adalah dalam hal pemberian gelar “sultan” kepada raja-raja Gowa yang diberikan oleh Mufti Makkah menurut penuturan Andi Kumala Idjo, SH sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.

          Selain itu yang dapat kita lihat adalah foto Raja Gowa yang ke-33, I Mallingkaan Daeng Nyonri Sultan Idris (1893-1895), yang terpajang di Museum Ballalompoa saat ini, menurut Andi Kumala Idjo, SH adalah pakaian Turki dilihat dari baju dan songkok Turkinya.3 [Gus Uwik]
 Sumber dari : http://fatwarohman.blogspot.co.id/2013/10/kesultanan-makassar-gowa-tallo.html

Perlawanan Kalimantan Selatan (1859–1905)





          Di Kalimantan Selatan, Belanda telah lama melakukan campur tangan dalam urusan Istana Banjar. Puncak kebencian terhadap Belanda dan akhirnya meletus menjadi perlawanan, ketika terjadi kericuan pergantian takhta Kerajaan Banjar setelah wafatnya Sultan Adam tahun 1857. Dalam hal ini Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar.
          Rakyat tidak mau menerima sebab Pangeran Hidayat yang lebih berhak dan lebih disenangi rakyat. Pertempuran rakyat Banjar melawan Belanda berkobar pada tahun 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Dalam pertempuran ini Pangeran Hidayat berada di pihak rakyat. Tokoh-tokoh lain dalam pertempuran ini, antara lain Kiai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, Tumenggung Suropati, dan Kiai Langlang. Pasukan Antasari menyerbu pos-pos Belanda yang ada di Martapura dan Pangron pada akhir April 1859. Di bawah pimpinan Kiai Demang Leman dan Haji Buyasin pada bulan Agustus 1859 pasukan Banjar berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio. Ketika pertempuran sedang berlangsung, Belanda memecat Pangeran Hidayat sebagai mangkubumi karena menolak untuk menghentikan perlawanan.
          Pada tanggal 11 Juni 1860 jabatan sultan kosong (karena Sultan Tamjidillah diturunkan dari takhtanya oleh pihak Belanda, Andresen) dan jabatan mang-kubumi dihapuskan. Dengan demikian, Kerajaan Banjar dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah kekuasaan Belanda. Pertempuran terus meluas ke berbagai daerah, seperti Tanah Laut, Barito, Hulu Sungai Kapuas, dan Kahayan. Dalam menghadapi serangan-serangan ini, Belanda mengalami kesulitan, namun setelah mendapatkan bantuan dari luar akhirnya Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat. Pada tanggal 3 Februari 1862, Pangeran Hidayat tertangkap dan dibuang ke Jawa. Pangeran Antasari yang pada tanggal 14 Maret 1862 diangkat oleh rakyat sebagai pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifahtul Mukminin gugur dalam pertempuran di Hulu Teweh pada tanggal 11 Oktober 1862. Sepeninggal Pangeran Antasari, perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan oleh teman-teman seperjuangan. Perlawanan rakyat benar-benar dapat dikatakan padam setelah gugurnya Gusti Matseman tahun 1905.



Sumber dari : wiwidwulandari.blogspot.com/2011/03/perlawanan-rakyat-di-berbagai-daerah.html?m=1

Perang Tondano di Sulawesi Utara




          Perang Tondano terjadi pada masa penjajahan HIndia Belanda, baik pada masa VOC maupun pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Bangsa Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara sebelum kedatangan bangsa Belanda. Hubungan dagang orang Minahasa dengan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara mereka mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang dari Belanda. Waktu itu VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate.
          VOC berusaha memaksakan kehendak mereka mereka agar orang-orang Minahasa              menjual hasil berasnya kepada VOC. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli dari VOC tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC, mereka memilih upaya memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa, VOC kemudian membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai tersebut meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian pindah ke Danau Tondano dengan rumah-rumah apung.
          Perang Tondano terjadi lagi pada abad ke-19. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Pada kebijakan itu, Minahasa dijatah untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Belanda untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
          Gubernur Prediger mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano-Minawanua. Belanda menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan lagi. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan pertama dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berlangsung dengan sengit. Pasukan Hindia Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bamu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Karena waktu sudah malam maka para pejuang dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah.
           Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari arah perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga korbanpun berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dan terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano-Minawanua. Bahkan terpetikik berita kapal yang paling besar yang di danau tenggelam.
              Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama, sampai bulan Agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok dari pejuang yang mulai memihak kepada Hindia Belanda. Namun dengan kekuatan dan semangat yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan atas gempuran pasukan Belanda yang terus menerus. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah. Mayat-mayat mereka telah lenyap di dasar danau bersama lenyapnya kemerdekaan dan kedaulatan tanah Minahasa.


Sumber dari : ipsgampang.blogspot.com/2014/08/perlawanan-terhadap-pemerintah-hindia.html?m=1

Perlawanan Sisingamangaraja di Sumatra Utara





        Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai “De Onafhankelijke Bataklandan” atau daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.
         Sejak tahun 1837, Belanda memecah tanah Batak menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’.
         Pada tahun 1876, Belanda mengumumkan Regerings Besluit yang, yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, suasana di tanah Batak bagian utara menjadi panas. Raja Sisingamangaraja XII yang bukan berasal dari Silindung, tetapi sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak, bangkit kemarahannya melihat Belanda mulai menguasai tanah-tanah Batak.
          Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menguasai Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan daerah lain. Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, beliau segera mengambil langkah-langkah untuk perang. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
            Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihadang.Belanda merubah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut sumber makanan bagi pasukan Sisingamangaraja XII di daerah Toba. Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.
           Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII. Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.
            Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel.
Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya. Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.



Sumber dari : https://carapedia.com/sejarah_perlawan_raja_sisingamaraja_xii_info1910.html

Pelawanan Pattimura (1817)







          Latar belakang perlawanan rakyat Maluku yang dipimpin Kapitan Pattimura adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah kolonial memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib.
2. Pemerintah kolonial menurunkan tarif hasil bumi yang wajib diserahkan, sedangkan pembayarannya tersendat-sendat.
3. Pemerintah kolonial memberlakukan uang kertas, sedangkan rakyat Maluku telah terbiasa dengan uang logam.
4. Pemerintah kolonial menggerakkan pemuda Maluku untuk menjadi prajurit Belanda.
          Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda diawali dengan tindakan Kapitan Pattimura yang mengajukan daftar keluhan kepada Residen Van den Bergh. Dalam daftar keluhan tersebut berisi tindakan semena-mena pemerintah kolonial yang menyengsarakan rakyat.
          Keluhan tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah Belanda, sehingga rakyat Maluku di bawah pimpinan Kapitan Pattimura menyerbu dan merebut Benteng Duurstede di Saparua. Dalam pertempuran tersebut, Residen Van den Bergh terbunuh. Perlawanan kemudian meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.
Belanda semakin terdesak. Namun kemudian Belanda mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan rakyat Maluku. Akhirnya pada awal Agustus 1817 Benteng Duurstede dapat direbut kembali oleh Belanda. Namun demikian, perlawanan rakyat Maluku tetap berlanjut dengan cara bergerilya.
          Perlawanan rakyat Maluku berakhir dengan menyerahnya Kapitan Pattimura bersama teman-temannya kepada Residen Liman Pietersen. Setelah Pattimura beserta teman-temannya diadili di Ambon, pada tanggal 16 Desember 1817 dihukum mati di depan Benteng Nieuw Victoria. Mereka gugur sebagai pahlawan dalam membela rakyat yang tertindas.



Sumber dari : www.sejarah-negara.com/2014/09/perlawanan-kapitan-pattimura-1817.html

Perlawanan sultan Nuku (Tidore)






         Kepulauan Maluku menjadi pusat rempah-rempah (cengkeh, pala, bunga pala, kulit masoi) sehingga menjadi daya tarik bagi orang-orang Eropa. Orang-orang Eropa yang datang ke Maluku ialah orang-orang Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Persaingan dalam perdagangan rempah-rempah terjadi dengan sengitnya di antara orang-orang Eropa itu. Mereka berusaha untuk mempengaruhi penguasa-penguasa bumiputera sebagai upaya untuk memenangkan persaingan itu. Dalam persaingan ini Belanda keluar sebagai pemenang. Hal ini disebabkan karena Belanda lebih baik organisasinya dalam menguasai kunci-kunci perdagangan mulai dari Malaka, Batavia, Makassar, dan akhirnya Ambon. Penanaman kekuasaan ini pun dilaksanakan oleh satu kongsi dagang yang kuat dan teratur rapi yang terkenal dengan nama Kompeni ( Vreenigde Oost Indische Compagnie/VOC ). Kapal-kapal VOC melayari jalan-jalan perdagangan itu dengan teratur pula. Di Maluku, Belanda dapat menguasai kepulauan Ambon, Banda. Kesultanan Ternate ditempatkannya di bawah pengaruhnya. Satu-satunya kekuasaan bumiputera yang bebas dari pengaruh Belanda adalah kesultanan Tidore di bawah Sultan Saidi.
          Di Maluku, Belanda menjalankan politik monopoli, ekstirpasi dan campur tangan dalam penggantian takhta . Pelaksanaan politik ekstirpasi berkaitan dengan politik monopoli. Politik ekstirpasi adalah politik membinasakan pohon rempah-rempah dan memberikan ganti kerugian kepada sultan (recognitie pennigen ). Akibat dari politik ekstirpasi ini rakyat Maluku sangat menderita, karena ribuan pohon rempah-rempah rakyat yang dibinasakan, sedangkan sultan hidup berfoya-foya karena ganti rugi yang diterimanya. Maksud politik ekstirpasi ini adalah untuk tetap menjaga keseimbangan pohon rempah-rempah tetap dapat dipertahankan di pasaran Eropa.
          Perubahan politik di Eropa menguntungkan bagi Belanda untuk memper-kokoh kekuasaannya di Maluku. Pada tahun 1648 diadakan perjanjian Munster antara Spanyol dan Belanda. Perjanjian ini menetapkan, bahwa masing-masing pihak memegang apa yang telah diduduki sebelum perjanjian ini dan juga masing-masing pihak tidak menyinggung jajahan atau milik pihak lain atau menyerang, menaklukkan raja-raja dan bangsa yang ada di bawah kekuasaan pihak lain. Dengan perjanjian Munster ini Belanda mulai memainkan peranannya di kesultanan Tidore. Gubernur Spanyol di Tidore, d’Eistebar diminta jangan campur tangan dalam peperangan antara Belanda dengan kesultanan Tidore. Belanda juga berpendapat, bahwa Tidore adalah wilayah kesultanan Ternate yang berada di bawah kedaulatan Belanda. Permintaan Belanda ini mendapat sambutan yang baik dari Gubernur d’Eistebar. Belanda mendapat kesimpulan dari sikap d’Eistebar ini, bahwa Spanyol di Maluku akan dapat dienyahkan. Hal ini terbukti sepuluh tahun sesudahnya (1664).
           Peperangan antara Belanda dan kesultanan Tidore tidak pernah terjadi. Belanda tidak memilh jalan perang untuk menguasai Tidore. Jalan yang dipilihnya “ pecah belah dan kuasai ” (devide et impera). Kesempatan itu terbuka pada tahun 1657, ketika terjadi pergantian tahta karena wafatnya Sultan Saidi. Seharusnya yang menggantikan Sultan Saidi adalah putera sulungnya, Kaicil (Pangeran) Goranya. Akibat campur tangan Belanda, bukan Goranya yang menjadi Sultan Tidore, tetapi adiknya yang bernaka Kaicil Golafino menjadi sultan Tidore dengan gelar Sultan Syaifudin. Dengan kejadian ini Belanda telah dapat menanamkan kekuasaannya di Tidore. Sebagai upah, Sultan menyetujui dilaksanakannya ekstirpasi terhadap pohon rempah-rempah di seluruh wilayah kesultanan Tidore.
           Kontrak demi kontrak dipaksakan oleh Belanda kepada Sultan Tidore. Kontrak yang paling menyinggung perasaan sultan-sultan Tidore adalah kontrak tanggal 23 Juni 1733. Kontrak itu berlatar belakang adanya kerugian di pihak Belanda (kebocoran sistem monopoli). Dalih dari kerugian itu adalah karena bajak laut. Bajak lautnya adalah rakyat Tidore sendiri atau setidak-tidaknya Sultan Tidore melindungi bajak laut. Oleh karena itu, kontrak tanggal 23 Juni 1733 memuat janji Sultan Malikul Manan akan menghentikan dan mencegah rakyatnya dari pembajak-an laut. Selanjutnya ditentukan pula, bahwa sultan akan membayar kerugian bilamana terjadi pelanggaran.
            Kontrak tanggal 23 Juni 1733 terus berlangsung sampai sultan Jamaludin naik takhta pada tahun 1757. Sultan baru ini berputera Kaicil Badiuzaman Garomahongi, yang diangkat menjadi raja muda Tidore (calon sultan Tidore). Putera kedua ialah Kaicil Syaifudin yang lebih terkenal dengan Kaicil Nuku. Putera ketiga ialah Kaicil Kamaludin.
Wilayah kesultanan Tidore pada masa Sultan Jamaludin meliputi:
1. Pusat kesultanan, yaitu pulau Tidore, pulau Maitara, pulau Mare;
2. Daerah luar, yang terdiri atas:
a. Halmahera Tengah dengan dua jazirah di sebelah Timur;
b. Kepulauan raja Empat: pulau Gebe, Waigeo, Salawati, dan Misool, termasuk pantai barat dan utara Irian;
c. Seram timur dengan pulau-pulau Seramlaut, Gorong, Watubela, Kai dan Aru, termasuk pantai Selatan Irian.
Kesultanan Tidore mempunyai wilayah yang amat luas, hampir meliputi seluruh Maluku Utara.
            Sultan Jamaludin ternyata sultan Tidore yang kepribadiannya kuat. Ia tidak mudah didikte oleh Belanda. Permintaan Belanda agar Korakora Hongi Tidore ikut dalam ekspedisi untuk memusnahkan pohon rempah-rempah dalam wilayah kesultanannya, ditolaknya. Bahkan desakan Belanda agar kontrak tanggal 23 Juni 1733 dipatuhi, ditolaknya pula.
Kedua putera sultan, Kaicil Badiuzaman Garomahingi dan Kaicil Nuku menentang politik monopoli dan ekstirpasi Belanda. Gubernur Belanda di Ternate, Hermanus Munnik, berusaha mendekati kedua putera sultan, tetapi tidak berhasil. Penyelundupan timbul kembali dan Sultan Jamaludin dituduh melindungi para penyelundup. Sebagai akibatnya, Sultan Jamaludin dan Kaicil Garomahongi ditangkap oleh Belanda (1779). Sultan bersama keluarganya diangkut ke Batavia dan diasingkan ke Sailan (1780). Sebagai wakil sultan Tidore diangkat Kaicil Gayjira, paman Sultan Jamaludin (177) yang sudah lanjut usia. Nuku memprotes penangkapan ayahnya dan pengangkatan Kaicil Gayjira menjadi wakil sultan Tidore. Protes Nuku sama sekali tidak diperhatikan oleh Belanda (Gubernur Cornabe). Belanda kemudian mengangkat Patri Alam putera Kaicil Gayjira menjadi Sultan Tidore yang tetap. Nuku bersama saudaranya, Kaicil Kamaludin menuntut keadilan.
Siasat Nuku dalam melawan Belanda adalah sebagai berikut:
1. Petani, yaitu jazirah timur pulau Halmahera menjadi pusat pertahanan.
2. Membuat dinas pemberitaan dengan tugas untuk menyaring berita yang berasal dari Tidore dan Ternate. Di samping itu dinas berita ini menyebarkan berita secepat-cepatnya ke daerah-daeah yang ada di bawah kekuasaan Nuku.
3. Membentuk pasukan spionase yang diselundupkan ke kota Tidore dan Ternate.
4. Politik ekstirpasi Belanda harus dilawan sekuat tenaga untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
5. Memperkuat korakora hongi untuk menghadapi monopoli Belanda dalam perdagangan rempah-rempah.
6. Meningkatkan penyelundupan dan mengkoordinasikan bajak laut dengan menetapkan pulau Gebe sebagai pusatnya.
7. Menjalin kerja sama dengan Inggris untuk kepentingan senjata dan amunisi, dan nakhkoda Cina untuk keperluan mesiu.
           Pertentangan antara Nuku dan Patra Alam yang dibantu Belanda semakin meningkat. Untuk memperkuat kedudukannya, Nuku kemudian dinobatkan oleh para pengikutnya penjadi sultan Papua dan Seram dengan gelar Sri Maha Tuan Sultan Muhamad Amirudin Syaifudin Syah Kaicil Paparangan. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata Patra Alam tidak dapat memenuhi harapan Belanda. Ia dipecat dan diganti oleh Kaicil Kamaludin, adik Nuku (1784). Kamaludin, setelah menjaJdi sultan Tidore memusuhi kakaknya. Nuku menyadari kenyataan ini, bahwa biang keladinya adalah Belanda.
Nuku memutus-kan untuk menyerang Tidore pada tanggal 12 April 1797. Dengan menggunakan 30 buah korakora akhirnya Nuku dapat mengalahkan Kamaludin. Nuku diangkat menjadi Sultan Tidore oleh pengikutnya dengan gelar Sri Paduka Maha Tuan Sultan Said’ul Jehad Muhamad el Mabus Amirudin Syah, Kaicil Kamaludin, adik Nuku (1784). Kamaludin, setelah menjadi sultan Tidore memusuhi kakaknya. Nuku menyadari kenyataan ini, bahwa biang keladinya adalah Belanda.
Nuku memutus-kan untuk menyerang Tidore pada tanggal 12 April 1797. Dengan menggunakan 30 buah korakora akhirnya Nuku dapat mengalahkan Kamaludin. Nuku diangkat menjadi Sultan Tidore oleh pengikutnya dengan gelar Sri Paduka Maha Tuan Sultan Said’ul Jehad Muhamad el Mabus Amirudin Syah, Kaicil Paparangan, Sultan Tidore, Papau, Seram, dan daerah-daerah taklukannya. Gelar Nuku yang panjang itu menunjukkan, bahwa ia menguasai wilayah sangat luas. Sebelum ia menjadi sultan Tidore, wilayahnya hanya terdiri atas Papua (Irian) dan Seram. Tetapi sekarang ia menguasai wilayah yang terdiri atas pulau Tidore, pulau Maitara, dan pulau Mare sebagai pusat kesultanan, kepulauan Raja Empat, Halmahera Tengah, dan Papua (Irian).
Nuku dapat menegakkan ketertiban dan kedamaian di seluruh wilayahnya, berkat kepandaiannya menjaga keseimbangan kekuasaan di Maluku Utara. Perjuangan Nuku untuk menegakkan kedaulatannya di Maluku Utara berakhir karena ia wafat. Belanda menjadi sasaran serangan kaum Padri, karena Belanda membantu kaum Adat. Perlawanan dipimpin oleh tuanku Pasaman, dengan pasukan 20 ribu sampai 25 ribu orang (1821). Tuanku Pasaman mempunyai kepribadian yang kuat. Ia tidak sudi diajak berunding oleh Belanda, sebab menurut pendapatnya, setiap perundingan yang diadakan, berarti memberi kesempatan Belanda untuk memperkuat diri dan perjanjian pasti tidak akan ditepatinya. Pendapat Tuanku Pasaman ternyata benar. Hal ini dibuktikan ketika Letnan Kolonel Raaff pada tanggal 16 Desember 1823 ke Padang untuk menggantikan kedudukan Du Puy sebagai Residen dan Komandan Militer Belanda di Padang. Ia berusaha mendekati kaum Padri di Bonjol dan berhasil mengadakan perjanjian.
Demikian pula dengan kaum Padri di daerah VI kota. Perdamaian demi perdamaian berhasil diadakan oleh Belanda. Kolonel Stuers yang diangkat menjadi penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat sejak tanggal 2 November 1824 pada tanggal 29 Oktober 1825 telah berhasil mengadakan perjanjian dengan kaum Padri yang diwakili oleh Tuanku Keramat. Isi perjanjian itu antara lain menyebutkan bahwa Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku-tuanku di Lintau, Lima Puluh Kota, Talawas, dan Agam; kedua belah pihak akan melindungi orang-orang yang sedang dalam perjalan dan para pedagang; kedua belah pihak akan melindungi orang-orang yang sedang kembali dari pengungsian. Perjanjian itu terkenal dengan nama perjanjian Ujung Karang tanggal 15 November 1825. Sebelumnya Belanda telah dapat pula mengadakan perjanjian dengan kaum Padri di Bonjol yang diwakili oleh Tuanku Imam Bonjol, Tuanku nan Gapuk dan Tuanku Hitam. Perjanjian itu terkenal dengan nama perjanjian Masang 26 Januari 1825. Belanda mendesak kaum Padri dengan perjanjian-perjanjian pada tahun 1825 oleh karena di Jawa timbul perlawanan Diponegoro.


Sumber dari :coretan-berkelas.blogspot.com/2014/08/perlawanan-nuku-di-maluku-utara.html?m=1















Pemberontakan Untung Surapati (1686 – 1706)





           Untung Suropati, demikianlah nama pejuang pada masa Mataram di bawah pemerintahan Amangkurat II. Sikap benci Untung kepada VOC telah muncul sejak di Batavia. Untung kemudian melarikan diri ke Cirebon dan terjadi perkelahian dengan Suropati maka namanya menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan ke Kartasura.Amangkurat II setelah menjadi raja merasakan betapa beratnya perjanjian yang telah ditandatangani dan berusaha untuk melepaskan diri. Ketika Untung Suropati tiba di Kartasura disambut dengan baik. Pada tahun 1686 datang utusan dari Batavia di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud merundingkan soal hutang Amangkurat II dan menangkap Untung Suropati.
           Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran. Kapten Tack beserta pengikutnya berhasil dihancurkan oleh pasukan Untung Suropati. Untung Suropati kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur dan sampailah ke Pasuruan Di sinilah akhirnya Untung mendirikan istana dan mengangkat dirinya sebagai bupati dengan gelar Adipati Wironagoro. Di Bangil didirikan perbentengan. Bupati-bupati seluruh Jawa Timur mendukungnya, dengan demikian kedudukannya makin kuat. Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, digantikan oleh putranya Sunan Mas dengan gelar Sultan Amangkurat III yang anti kepada Belanda. Pamannya Pangeran Puger (adik Amangkurat II) berambisi ingin menjadi raja di Mataram dan pergi ke Semarang untuk mendapatkan dukungan dari VOC. Selanjutnya, VOC berserta Pangeran Puger menyerang Kartasuradan berhasil diduduki. Amangkurat III melarikan diri ke Jawa Timur bergabung dengan Untung Suropati. Pada tahun 1704 Pangeran Puger dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwono I.
            Pihak Belanda menyiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menggempur pasukan Untung di Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam pertempuran di Bangil, Untung terluka dan akhirnya gugur pada tanggal 12 Oktober 1706. Sunan Mas bisa tertangkap dan kemudian dibuang ke Sailan/Sri Langka (1708). Pada tahun 1719 Sunan Paku Buwono I wafat dan digantikan oleh Amangkurat IV (Sunan Prabu) di bawah mandat VOC. Makin eratnya hubungan denganVOC membuat para bangsawan benci kepada kompeni.
Mereka mengadakan perlawanan, antara lain
            Pangeran Purboyo (adik Sunan) dan Pangeran Mangkunegoro (putra Sunan sendiri). Perlawanan terhadap Kompeni dapat dipadamkan dan para pemimpinya ditangkap dan dibuang ke Sailan dan Afrika Selatan, kecuali Pangeran Mangkunegoro
yang diampuni ayahnya.
            Pada masa pemerintahan Paku Buwono II (1727–1749) Mataram diguncang lagi perlawanan yang dipimpin oleh Mas Garendi (cucu Sunan Mas). Perlawanan ini di dukung oleh orang-orang Tionghoa yang gagal mengadakan pemberontakan terhadap VOC di Batavia. Mas Garendi berhasil menduduki ibu kota Kartasura. Paku Buwono II melarikan diri ke Ponorogo. VOC meminta bantuan kepada Bupati Madura, Cakraningrat untuk merebut kembali Kartasura dengan imbalan keinginan Cakraningrat untuk melepaskan diri dari Mataram akan dikabulkan. Cakraningrat berhasil merebut kembali Kartasura dan Paku Buwono II berhasil kembali ke Kartasura sebagai raja. Namun, antara VOC dan Cakraningrat terjadi perselisihan karena Cakraningrat keberatan meninggalkan Kartasura. Perselisihan berakhir dengan ditangkapnya dan di buang ke Afrika Selatan (1745).
Setelah beberapa kali terjadi perlawanan di Kartasura, Kartasura dianggap tidak layak sebagai ibu kota kerajaan sehingga pusat pemerintahan dipindahkan ke Surakarta. Makin bercokolnya VOC di Mataram menyebabkan pada masa Paku Buwono II ini juga terjadi perlawanan lagi di bawah pimpinan
Raden Mas Said (putra Pangeran Mangkunegoro) dan menduduki Sukowati. Oleh Paku Buwono II dikeluarkan semacam
sayembara, siapa yang dapat merebut daerah Sukowati akan mendapat daerah itu sebagai imbalannya. Pangeran Mangkubumi, adik Paku Buwono II berhasil merebut Sukowati, tetapi ternyata daerah itu tidak diberikan. Pangeran Mangkubumi meninggalkan kota dan bergabung dengan Raden Mas Said melakukan perlawanan


Sumber dari : walpaperhd99.blogspot.com/2015/05/perlawanan-untung-suropati-mataram.html?m=1