Di
Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan bercorak Hindu
di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing.
Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Nama Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan. Sebelum abad ke 16, kerajaan-kerajaan di Sulawesi masih bercorakkan Hindu, barulah ketika adanya dakwah dari Dato'ri Bandang dan Dato' Sulaiman, perlahan-lahan kerajaan-kerajaan tersebut mulai memeluk islam. Kerajaan gowa-tallo sendiri merupakan sebuah Kerajaan yang bercorak Islam. Setelah bergabung menjadi Gowa Tallo, Raja Gowa Daeng Manrabia menjadi Raja Gowa Tallo Karaeng Matoaya menjadi perdana menteri (patih) dan bergelar Sultan Abdullah.
Mirip dengan pernyataan Prof. DR. M. Ahmad Sewang, pakar Sejarah UIN Alauddin Makassar, bahwa memang pada masa kerajaan-kerajaan dulu telah masuk Islam, ada semacam pengakuan atau legitimasi yang harus datang dari Turki Utsmani sebagai spiritual power (Dunia Islam masa itu) kepada raja terpilih. Beliau mencontohkan legitimasi Sultan Buton oleh Turki Utsmani sekalipun beliau mengatakan tidak sejauh itu pernah membahas masalah ini. Hanya saja, Bapak Prof. Sewang menambahkan, bahwa Turki Utsmani adalah Khalifah.
Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Nama Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan. Sebelum abad ke 16, kerajaan-kerajaan di Sulawesi masih bercorakkan Hindu, barulah ketika adanya dakwah dari Dato'ri Bandang dan Dato' Sulaiman, perlahan-lahan kerajaan-kerajaan tersebut mulai memeluk islam. Kerajaan gowa-tallo sendiri merupakan sebuah Kerajaan yang bercorak Islam. Setelah bergabung menjadi Gowa Tallo, Raja Gowa Daeng Manrabia menjadi Raja Gowa Tallo Karaeng Matoaya menjadi perdana menteri (patih) dan bergelar Sultan Abdullah.
- Letaknya strategis yaitu sebagai penghubung pelayaran Malaka dan Jawa ke Maluku.
- Letaknya di muara sungai, sehingga lalu lintas perdagangan antar daerah pedalaman berjalan dengan baik.
- Di depan pelabuhan terdapat gugusan pulau kecil yang berguna untuk menahan gelombang dan angin, sehingga keamanan berlabuh di pelabuhan ini terjamin.
- Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis mendorong para pedagang mencari daerah atau pelabuhan yang menjual belikan rempah-rempah.
- Halauan politik Mataram sebagai kerajaan agraris ternyata kurang memperhatikan pemngembangan pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Akibatnya dapat diambil alih oleh Makasar.
- Kemahiran penduduk Makasar dalam bidang pelayaran dan pembuatan kapal besar jenis Phinisi dan Lambo.
Mirip dengan pernyataan Prof. DR. M. Ahmad Sewang, pakar Sejarah UIN Alauddin Makassar, bahwa memang pada masa kerajaan-kerajaan dulu telah masuk Islam, ada semacam pengakuan atau legitimasi yang harus datang dari Turki Utsmani sebagai spiritual power (Dunia Islam masa itu) kepada raja terpilih. Beliau mencontohkan legitimasi Sultan Buton oleh Turki Utsmani sekalipun beliau mengatakan tidak sejauh itu pernah membahas masalah ini. Hanya saja, Bapak Prof. Sewang menambahkan, bahwa Turki Utsmani adalah Khalifah.
Secara
geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat
strategis, karena berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara).
Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang
berasal dari Indonesia bagian Timur maupun yang berasal dari Indonesia
bagian Barat. Dengan
posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar berkembang menjadi
kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.
A. Letak Kerajaan
Kerajaan
Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan
ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Secara geografis Sulawesi
Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur
pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat
persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian
timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian
barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar
berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan
Nusantara.
B. Raja-raja yang memerintah
Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Matoaya (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar
tahun 1593 – 1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) sebagai
Mangkubumi bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin
kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang
pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).
Selanjutnya
kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan
Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai
daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang
keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai
ke Nusa Tenggara Barat.
C. Kehidupan ekonomi
Kerajaan
Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat
perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa
faktor :
- letak yang strategis,
- memiliki pelabuhan yang baik
- jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang- pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai
pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional
dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis,
Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.
Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE,
sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di
Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga
mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai
daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
Faktor-faktor penyebab Kerajaan Gowa Tallo berkembang menjadi pusat perdagangan adalah sebagai berikut:
D. Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai
negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan
dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf
kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk
menambah kemakmuran hidupnya.
Walaupun
masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai
kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat
dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat
Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut
PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma
tersebut.
Di samping
norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang
terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan
keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat
kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para
hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi
kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda
budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai
pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan
nama Pinisi dan Lombo.
Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.
E. Kehidupan politik
Penyebaran
Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri
Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang
pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam.
Raja Makasar
yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Ma’towaya Tumamenanga
Ri Agamanna (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah
Makasar tahun 1591 – 1638 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo)
bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan
Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada
masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).
Selanjutnya
kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan
Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai
daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang
keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo,
Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa
Tenggara Barat.
Daerah
kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur
dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat
anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan
monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk
itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan
Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut
maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan
menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah
Maluku.
Dalam
peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya
untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan
Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut
maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.
Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan
melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah
kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh
Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari
kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC
untuk menghancurkan Makasar.
Akibat
persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan
Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui
kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya
tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun
perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda
tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu
Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.
Untuk
menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya
secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya
kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
F. Peninggalan sejarah
Mesjid
Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami
beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh
Sultan Mahmud (1818), Kadi Ibrahim (1921), Haji Mansur Daeng Limpo,
Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit
mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua
Kerajaan Gowa ini.
Kompleks makam raja gowa tallo
Makam
raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak
abad XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan
Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak
di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada sudut timur laut dalam
wilayah benteng Tallo. Ber¬dasarkan basil penggalian (excavation) yang
dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982)
ditemukan gejala bah wa komplek makam ber¬struktur tumpang-tindih.
Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan, dan kadang-kadang
ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
Kompleks
makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempat¬kan di dalam bangunan
kubah, jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu
dibuat dan balok¬balok ham pasir. Bangunan kubah yang berasal dari kuran
waktu yang lebih kemudian dibuat dari batu bata. Penempatan balok batu
pasir itu semula tanpa memper¬gunakan perekat. Perekat digunakan Proyek
Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang
lebih serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam
Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka. Pada kompleks ini bentuk makam
dominan berciri abad XII Masehi.
Keruntuhan kerajaan
Raja
Bone Aru Palaka meminta bantuan Belanda untuk menyerang Hasanuddin
karena wilayahnya dikuasai Gowa Tallo, maka dengan cepat Belanda
menyambutnya.
Belanda
menyerang dari laut, sedangkan Aru Palaka menyerang dari darat. Dengan
tekanan yang demikian berat akhirnya Belanda mempu memaksa Gowa Tallo
menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Gowa Tallo menyerah kepada Belanda tahun 1669.
Akibat penyerahan Gowa Tallo kepada Belanda adalah seperti berikut:
•Peranan Makasar sebagai pusat pelayaran dan perdagangan di Indonesia Timur berakhir.
•Belanda menguasai Gowa Tallo dan mendirikan benteng di New Rotterdam.
•Pejuang
Makasar banyak yang pergi ke luar daerah untuk melanjutkan
perjuangannya melawan penjajah Belanda. Para pejuang tersebut antara
lain Kraeng Galengsung dan Montemaramo yang pergi ke Jawa melanjutkan
perjuangannya di Jawa.
Beberapa
akibat di atas mengakhiri Kerajaan Gowa Tallo (Makasar) dan berakhir
pula peranannya sebagai pelabuhan transito yang besar.
Catatan :
Kerajaan Gowa Tallo
Prinsip
damai Kerajaan Gowa dalam menyebarluaskan Islam dapat dicermati ketika
Raja Gowa XIV Sultan Alauddin bersama Mangkubumi (Raja Tallo) Sultan
Awwalul Islam dan pasukannya mendatangi Bone untuk mengajak memeluk
Islam. Mereka tiba di Bone dan mengambil tempat di Palette. La
Tenriruwa, Raja Bone XI, adalah raja Bone yang pertama memeluk agama
Islam. Setelah mengadakan pembicaraan antara Raja Gowa dan Raja Bone,
rakyat Bone dikumpulkan di suatu lapangan terbuka karena Raja akan
menyampaikan sesuatu kepada mereka. Berkatalah Raja Bone La Tenriruwa
kepada rakyat banyak :
Hai
rakyat Bone, saya sampaikan padamu, bahwa kini Raja Gowa datang ke Bone
menunjukkan jalan lurus bagi kita sekalian ialah agama Islam, mari kita
sekalian terima baik Raja Gowa itu. Karena bagi saya sendiri sudah
tidak ada kesangsian apa-apa. Saya sudah yakin benar bahwa Islam inilah
agama yang benar, yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
mengikut Nabi Muhammad saw.
Selanjutnya Raja Bone La Tenriruwa berkata lagi:
Memang
ada kata sepakat moyang kami dengan Raja Gowa yang mengatakan, bahwa
barangsiapa di antara kita mendapat kebaikan, dialah menuntun di depan.
Raja Gowa berkata bahwa bila agama Islam diterima oleh kita, maka Gowa
dan Bone adalah dua sejoli yang paling tangguh di tengah lapangan. Bila
kita terima agama Islam, maka kita tetap pada tempat kita semula. Akan
tetapi, bila kita diperangi dahulu dan dikalahkan, baru kita terima
agama Islam, maka jelas rakyat Bone akan menjadi budak dari Gowa. Saya
kemukakan keterangan ini, kata Raja Bone La Tenriruwa, bukan karena saya
takut berperang lawan orang-orang Makassar. Tapi kalau semua kata-kata
dan janji Raja Gowa itu diingkarinya, maka saya akan turun ke
gelanggang, kita akan lihat saya ataukah Raja Gowa yang mati.
Demikian isi pidato Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat banyak.
Kalau
kita mencermati petikan pidato di atas dapat dipahami, bahwa betapa
Raja Gowa memiliki maksud yang baik kepada Raja Bone dan Rakyat Bone
untuk hanya semata-mata agar memeluk Islam. Bahkan dikatakan kepada
mereka, jika mau memeluk Islam maka Kerajaan Bone dan Gowa hidup sejoli
yang saling menguatkan satu sama lain. Namun, sekalipun Raja Bone La
Tenriruwa sudah memeluk Islam lalu mengajak rakyatnya, maka rakyatnya
pun menolak bahkan Ade’ Pitue (Hadat Tujuh) memecat La Tenriruwa dari
tahtanya, dan bermufakat mengangkat La Tenripale to Akkapeang menjadi
raja Bone XII (1611-1625). Akhirnya, Raja Bone XII inilah yang berperang
dengan Raja Gowa sehingga ditaklukkan oleh Gowa, kemudian mereka masuk
Islam.
Abdul
Razak Daeng Patunru’ (1969: 21) menguraikan bagaimana Gowa mengajak
kerajaan-kerajaan memeluk Islam, “Pada hakekatnya Raja Gowa sebagai
seorang Muslim dan memegang teguh prinsip agama Islam, bahwa penyebaran
Islam harus dilakukan secara damai. Pada mulanya sama sekali tidak
bermaksud untuk memaksa raja-raja menerima Islam, tetapi karena ternyata
kepada Baginda, bahwa selain raja-raja itu menolak seruan Baginda,
mereka pun mengambil sikap dan tindakan yang nyata untuk menentang
kekuasaan dan pengaruh Gowa yang sejak dahulu telah tertanam di
tanah-tanah Bugis pada umumnya.”
Hubungan Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah
Hubungan
Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah pada waktu itu, yang dapat kita
pahami adalah dalam hal pemberian gelar “sultan” kepada raja-raja Gowa
yang diberikan oleh Mufti Makkah menurut penuturan Andi Kumala Idjo, SH
sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.
Selain
itu yang dapat kita lihat adalah foto Raja Gowa yang ke-33, I
Mallingkaan Daeng Nyonri Sultan Idris (1893-1895), yang terpajang di
Museum Ballalompoa saat ini, menurut Andi Kumala Idjo, SH adalah pakaian
Turki dilihat dari baju dan songkok Turkinya.3 [Gus Uwik]
Sumber dari : http://fatwarohman.blogspot.co.id/2013/10/kesultanan-makassar-gowa-tallo.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar